Penulis : Afrianto. M.Si (Dosen Universitas Mega Buana Palopo/Kandidat doktor ilmu ekonomi UNHAS)
DIANTARA tumpukan dokumen hasil Musrenbang yang dilakukan secara berjenjang dari musyawarah Tingkat RT hingga pada percakapan level kabupaten/kota sesungguhnya menimbulkan banyak tanya, apakah dokumen ini benar-benar dibaca ?. Dan di balik angka-angka APBD yang disahkan dalam rapat paripurna yang penuh kompromi politi, tersimpan sebuah kekuatan yang menentukan nasib ribuan hingga ratusan ribu warga yang disebut dengan belanja daerah. Rakyat penuh harap pada elit politik yang membahas nasib rakyat di level kabupaten dan kota seharusnya menjadi laboratorium keadilan ekonomi terdekat dengan rakyat. Namun, apakah APBD benar-benar menjadi alat pembangunan daerah yang responsif, atau hanya replika mini dari praktik sentralistik yang penuh distorsi?
Sejak lahirnya UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah dan kemudian diperbaharui menjadi UU No. 23/2014. UU ini menjanjikan desentralisasi fiskal sebagai jalan menuju pemerintahan yang lebih dekat, lebih cepat, dan lebih sesuai dengan kebutuhan lokal. APBD adalah perwujudan konkret otonomi fiskal, seharusnya menjadi cermin aspirasi rakyat daerah: Diharapkan prioritas pembangunan lahir dari bawah, bukan diturunkan dari atas. Namun, banya kita temukan realitasnya sering kali bertolak belakang.
Secara struktural, Struktur APBD yang disusun terdiri atas pendapatan daerah (PAD, transfer dari pusat, dan lain-lain) pembiayaan dan belanja daerah. Namun, di banyak daerah, proporsi belanja pegawai sering kali membengkak yang melebihi 50% dari total belanja, sehingga situasi ini menyisakan remah-remah anggaran untuk belanja modal dan program pro-rakyat. Ini bukan secara kebetulan. Keadaan ini adalah bagian dari struktur insentif politik yang mempertahankan status quo: birokrasi daerah yang gemuk, ketergantungan pada konsesi politik, dan minimnya akuntabilitas publik.
Akibatnya, desentralisasi yang seharusnya memperkuat akar demokrasi justru melahirkan feodalisme baru: Banyak kepala daerah yang memperlakukan APBD sebagai “UANG PRIBADI” untuk membangun patronase, membiayai proyek mercusuar demi pencitraan, atau mengalirkan dana ke rekanan kroni melalui tender yang tidak transparan.
Belanja Modal Daerah: Infrastruktur atau Ilusi Pembangunan?
Kebijakan belanja mestinya mewujud nyata ke arah pembangunan yang berpihak pada rakyat kecil. Belanja modal daerah menjadi tulang punggung pertumbuhan inklusif di tingkat lokal, seperti jalan desa yang mempermudah petani menjual hasil panen, pasar tradisional yang direvitalisasi memberi ruang luas bagi UMKM, puskesmas yang layak menyelamatkan nyawa ibu dan anak. Menurut Barro (1990) dalam artikel klasiknya; “Government Spending in a Simple Model of Endogenous Growth.” Journal of Political Economy”. Barro menerangkan bahwa belanja pemerintah yang produktif, khususnya dalam infrastruktur fisik dan modal sosial (seperti pendidikan dan kesehatan), dapat meningkatkan tingkat pertumbuhan jangka panjang melalui peningkatan produktivitas total faktor (TFP). Di tingkat daerah, hal ini berarti bahwa jalan desa bukan sekadar aspal, melainkan infrastruktur yang menurunkan biaya transaksi, memperluas akses pasar, dan meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya.
Denyut nadi ekonomi daerah mayoritas memang ditopang oleh belanja konsumsi, maka belanja modal adalah benih masa depan. Dalam kerangka teori pertumbuhan endogen, investasi publik dalam infrastruktur fisik dan sosial (seperti pendidikan dan kesehatan) menciptakan positive externalities yang tak bisa disediakan pasar: ia menurunkan biaya transaksi, meningkatkan produktivitas tenaga kerja, dan menarik investasi swasta melalui mekanisme crowding-in.
Namun, di sinilah ironi sering muncul. Banyak proyek infrastruktur meski dibungkus retorika “pembangunan merata” justru dirancang untuk melayani kepentingan korporasi besar atau kawasan elit. Jalan tol menghubungkan kota-kota metropolitan, sementara jembatan gantung di pedalaman ambruk karena tak pernah diperbaiki. Bandara dibangun di kota kecil tanpa analisis kelayakan, hanya karena pertimbangan politik. Akibatnya, infrastruktur menjadi simbol ketimpangan, bukan alat pemerataan.
Hal ini terjadi karena banyak belanja modal daerah justru terdistorsi oleh logika politik jangka pendek. Proyek infrastruktur dipilih bukan berdasarkan need assessment, melainkan berdasarkan potensi elektoral: jalan dibangun di daerah basis suara, gedung olahraga dibangun menjelang pilkada, sementara irigasi yang rusak di daerah minoritas politik dibiarkan terbengkalai.
APBD ; Efek Multiplier di Tingkat Daerah
Setiap rupiah yang dibelanjakan oleh pemerintah daerah diharapkan memiliki efek berlipat pada pendapatan dan konsumsi masyarakat setempat, terutama jika uang itu mengalir ke tangan rakyat kecil. Logika pembangunan sederhananya seperti seorang petani yang menjual hasil panennya karena jalan desa diperbaiki akan membeli beras, pakaian, dan obat. Pedagang warung yang mendapat pelanggan baru karena pasar direvitalisasi akan membayar tukang jahit atau tukang cukur. Uang itu berputar dalam ekosistem ekonomi lokal, menciptakan rantai pendapatan yang saling menguatkan.