Preferensi pengadaan lokal atau kebijakan belanja belum banyak berpihak kepada UMKM, masih minimnya insentif fiskal yang mendorong kolaborasi antara APBD dan ekosistem ekonomi rakyat.
Akibatnya, APBD yang seharusnya menjadi mesin pertumbuhan endogen, justru menjadi saluran kebocoran ekonomi ke luar wilayah. Bayangkan saja jika setiap kabupaten mewajibkan 30% belanja modalnya diserap oleh UMKM setempat, atau jika dana desa digunakan untuk membangun pusat pengolahan hasil pertanian yang dikelola BUMDes. Maka, APBD bukan lagi anggaran birokratis, melainkan alat transformasi ekonomi dari bawah.
Ingat, Uang itu berputar. Bukan sekali, bukan dua kali, tapi berkali-kali, dalam lingkaran kecil yang tak terlihat oleh statistik nasional, namun sangat nyata dalam denyut kehidupan rakyat. Inilah yang disebut efek multiplier di tingkat daerah: kekuatan tersembunyi yang mampu mengubah satu rupiah belanja pemerintah menjadi tiga, empat, bahkan lima rupiah nilai ekonomi lokal. Ini bisa menjadi pendorong ekonomi jika ia disalurkan dengan bijak, tepat sasaran, dan berpihak pada akar ekonomi rakyat.
Ini bukanlah spekulasi. Moretti (2012) dalam The New Geography of Jobs menunjukkan bahwa setiap pekerjaan di sektor produktif menciptakan 1,6–2,0 pekerjaan pendukung di sektor jasa lokal seperti warung, tukang cukur, tukang ojek, penjahit. Di Indonesia, temuan World Bank (2019) dalam Indonesia Economic Quarterly dalam temuannya mengkonfirmasi bahwa belanja pemerintah daerah yang mengalir ke UMKM dan tenaga kerja lokal memiliki multiplier 2–3 kali lebih tinggi dibanding belanja yang mengalir ke kontraktor luar daerah.
Namun, disinilah ironinya, APBD yang seharusnya menjadi saluran utama multiplier lokal justru sering menjadi pintu keluar uang dari daerah. Proyek infrastruktur besar dikerjakan oleh perusahaan nasional yang berbasis di luar daerah. Material dibeli dari luar daerah, Upah pekerja dikirim ke kampung halaman mereka, bukan diputar di lokasi proyek. Akibatnya, multiplier yang seharusnya lokal justru “bocor” ke luar wilayah, dan daerah hanya mendapat sisa-sisa: debu proyek, lubang bekas galian, dan janji yang tak ditepati.
Membangkitkan potensi multiplier lokal bukan soal menambah anggarannya, melainkan mengubah arah alirannya. Lagi – lagi ini soal cara pandang dan keberpihakan kepala daerah.