“Saat itu kami hanya meminta tidak mengapa kita melanjutkan bersama pengelolaan pondok ini bersama-sama tetapi harus kembali ke sistem pengelolaan awal dimana kami pihak ahli waris dan keluarga sebagai pengelola pondok dan pihak DI menjalankan tugasnya sebagai guru,” katanya.
Bahkan katanya, pihaknya juga memberikan kesempatan kepada pihak DI Maros untuk mengelola sistem pendidikan yang telah diterapkan di pesantren tersebut.
“Bahkan kami memberikan kesempatan tidak mengapa sebagian jenjang pendidikan dikelolah oleh mereka karena ada 3 jenjang pendidikan di lembaga pendidikan kami saat itu RA/TK, MI/SD, MTs/SMP sekaligus pesantren,” ujarnya.
“Waktu itu kami menyampaikan bahwa kita buka dan berikan kesempatan untuk posisi (kepala sekolah) ini kepada guru-guru yang punya kapabilitas dan tidak mesti dari kami ahli waris agar manajemen lembaga bisa transparan dan berkembang,” tambahnya.
Hanya saja, tawaran dari pihak ahli waris tersebut ditolak oleh yang menjadi utusan DI Maros. Dia meminta agar pihak ahli waris untuk berkordinasi, serta tidak mengganggu apa sistem pendidikan yang ada.
“Dia bilang tidak usah mengganggu mereka di jenjang pendidikan yang sudah ada dan silahkan dirikan Aliyah/SMA di lokasi orang tua kami yang masih luas di belakang,” ujarnya.
“Tentunya kami tidak ingin lembaga pendidikan orang tua kami dikelolah dengan cara seperti ini tanpa ada transparansi dan ada dinasty di dalamnya karena sudah sangat menyalahi amanah dan cita-cita kakek kami,” jelasnya.
Akhirnya kata Kiki, pihak ahli waris sepakat untuk mendirikan badan hukum dan sebuah yayasan untuk menaungi Ponpes DI Cilallang.