Smartnews — LEMBAGA eksekutif dan legislatif sebagai pemegang mandat dari rakyat untuk mengelolah sumber daya alam negeri ini untuk sebesar-besarnya demi kepentingan rakyat sejatinya memahami betul apa yang menjadi amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Bahwa apa yang pemerintah dan dewan perwakilan rakyat di setiap tingkatan lalkukan harus demi kepentingan masyarakat. Kedua lembaga ini harus bersinergi demi kemakmuran masyarakat. Bukan sebaliknya, malah memperkaya diri sendiri dan golongan.
Sebagai perencana dan eksekutor program, pemerintah wajib menyusun program yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.
Begitupun dengan lembaga legislatif yang memiliki tiga fungsi, legislasi (membuat aturan perundang-undangan), anggaran (membahas dan menetapkan anggaran), dan fungsi pengawasan, lembaga ini harus mengawal aspirasi masyarakat dalam melaksanakan tiga fungsi tersebut.
Namun dalam prakteknya, kebijakan yang dihasilkan kedua lembaga ini kerap tidak sesuai dengan keinginan mayoritas masyarakat, bahkan terkesan hanya untuk mengakomodir kepentingan segelintir pejabat dan politisi.
Akibatnya, tidak sedikit pejabat dan politisi yang terjerat kasus hukum karena bobroknya penyelenggaran pemerintahan sebagai dampak lemahnya pengawasan dari lembaga legislatif.
Hasil survei Global Corruption Barometer (GCB) 2020 oleh Transparency International Indonesia (TII) bahkan menempatkan lembaga DPR di semua tingkatan sebagai lembaga terkorup.
Lembaga ini masih dianggap paling korup karena tidak ada perubahan signifikan dalam tata kelola lembaga ini menjadi lebih transparan dan akuntabel dalam menjalankan tupoksinya.
Proses pembuatan kebijakan seperti pembahasan anggaran bahkan pembuatan aturan perundang-undangan cenderung dilakukan secara tertutup, tanpa melibatkan partisipasi publik dan juga tanpa pertanggungjawaban kepada publik.
Kemudian, proses pembahasan anggaran yang tertutup selalu terkait erat dengan potensi penyimpangan anggaran yang melibatkan pemerintah dan legislatif. Selalu saja ada deal-deal yang dibangun kedua lembaga ini dalam menetapkan anggaran.
Sebut saja pembangunan rencana pembangunan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Palopo yang baru di Kelurahan To’ Bulung, Kecamatan Bara yang pembangunannya mulai dilaksanakan pada, 13 Oktober 2021.
Rencananya, Pemerintah Kota Palopo akan membangun gedung DPRD baru dengan anggaran Rp 18 miliar yang dibagi dalam dua tahun anggaran. Tahun 2021 Rp 11 miliar untuk pembangunan fisik dan tahun 2022 Rp 7 miliar untuk mobiler dan penunjang lainnya. Pembangunan gedung DPRD ini sendiri banyak mendapat sorotan bahkan penolakan dari masyarakat Kota Palopo.
Selain masih sulitnya kondisi ekonomi masyarakat akibat pandemic Covid-19 yang meluluh-lantakkan perekonomian negeri ini, alasan lain penolakan pembangunan gedung baru ini karena gedung yang lama dinilai masih sangat layak. Bahkan cukup mewah.
Gedung yang saat ini digunakan memiliki tiga ruang rapat, satu ruang rapat paripurna dan dua lainnya digunakan untuk rapat-rapat tertentu dan menerima aspirasi masyarakat. Setiap komisi juga memiliki ruangan. Bahkan satiap anggota DPRD disediakan masing-masing satu ruang kerja “pribadi”.
Selain itu, letak gedung DPRD saat ini cukup strategis karena berada di pusat kota yang hanya berjarak sekitar 50 meter dari Kantor Wali Kota Palopo. Begitupun dengan beberapa kantor pemerintahan, dapat dijangkau hanya dengan 10 hingga 20 menit perjalanan.
Tepat di depan gedung DPRD, juga ada Lapangan Pancasila yang dilengkapi berbagai fasilitas yang sewaktu-waktu dapat digunakan jika ada kegiatan tertentu.
Dibanding jika para anggota dewan terhormat itu nantinya akan berkantor di gedung baru, tentu dari efektifitas waktu akan banyak terbuang. Jarak gedung baru dari pusat sekitar tujuh kilometer.
Bahkan perbincangan di warung kopi kerap diwarnai candaan yang berbunyi “Sedangkan jarak kantor dekat, mereka malas berkantor. Apalagi jika kantornya jauh”. Candaan ini memang terdengar nyeleneh, tetapi itulah fakta yang kerap terjadi jika seseorang berkunjung ke gedung wakil rakyat tersebut.
Salah satu alas an yang sering terdengar ketika gedung parlemen kosong melompong yaitu, para legislator sedang melakukan perjalanan dinas ke luar kota.
Belum lagi dari segi efektifitas penggunaan anggaran. Pembangunan gedung baru DPRD ini terkesan dipaksakan dan pemborosan anggaran.
Sebenarnya, pembangunan gedung DPRD ini sempat mendapat penolakan dari empat fraksi, satu fraksi yaitu Fraksi Nasdem meminta agar pembangunan ditunda. Sedangkan yang tidak setuju adalah Fraksi Golkar, PDI Perjuangan, Demokrat, dan Fraksi Gabungan Gerindra.
Penolakan usulan proyek pembangunan kantor legislatif itu disampaikan dalam Rapat Paripurna DPRD Kota Palopo dengan agenda laporan hasil pembahasan Badan Anggaran DPRD Kota Palopo terhadap Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) Tahun Anggaran 2022, Selasa 31 Agustus 2021.
Namun walau mendapat penolakan dari DPRD, Wali Kota Palopo, M Judas Amir tetap bersikukuh melaksakan pembangunan gedung baru DPRD. Sikap wali kota ini sempat menimbulkan polemik dan “ketegangan” antara eksekutif dan legislatif.
Di tengah polemik ini, pemerintah memutuskan untuk membuka tender pembangunan gedung DPRD. Saat proses tender berlangsung, anggota DPRD seperti tidak peduli, bahkan tekesan malas menanggapi hal tersebut.
Mendapat perlawanan dari eksekutif, DPRD sepertinya tidak berdaya. Hal ini dibuktikan dengan disetujuinya penambahan anggaran pembangunan gedung DPRD di APBD perubahan tahun 2021 sebesar Rp 6 miliar.
Sikap DPRD ini tentu sangat lucu. Bahkan tidak menutup kemungkinan berimplikasi pada hukum. Semoga saja tidak.
Pasalnya, untuk tahun 2022, DPRD telah menolak pembangunan gedung DPRD dianggarakan dalam APBD. Sementara di lain sisi, mereka malah menyetujui penambahan anggaran untuk tahun 2021. Penolakan awal terkesan akal-akalan saja.
Ada dua produk hukum yang dihasilkan DPRD yang bertentangan antara satu dengan yang lain. Implikasinya, anggaran Rp 11 miliar yang disetujui tahun 2021 bisa saja mubasir dan berpotensi menimbulkan kerugian Negara karena terancam tidak akan dilanjutkan tahun 2022.
Ketidak-konsistenan DPRD ini membuat publik teringat beberapa kritikan Presiden ke-4 RI, Abdul; Rahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur.
Gus Dur pernah menyatakan anggota DPR seperti anak Taman Kanak-kanak (TK). Saat itu, Gus Dur melontarkan komentar bahwa Beda DPR dengan taman kanak-kanak memang tidak jelas.
Tiga tahun kemudian, ketika Gus Dur tidak menjabat sebagai presiden. Muncul ketegangan di gedung parlemen. Waktu itu ada perseteruan antara Koalisi Kebangsaan dan Koalisi Kerakyatan.
Saat itu, Gus Dur bahkan menyebut DPR bukan lagi taman kanak-kanak tetapi sudah melorot menjadi playgroup.
Sentilan Gus Dur lainnya yang tak kalah pedas ketika meresmikan Pondok Pesantren Al Ali STAIN, Malang. Gus Dur menyebut menyebut DPR isinya orang-orang yang sombong dan nggak karu-karuan.
Namun terlepas dari sentilan Gus Dur ini, masyarakat masih berharap lembaga eksekutif dan legislatif ke depannya bisa lebih profesional. Kebijakan-kebijakan yang dihasilkan betul-betul berpihak pada kepentingan masyarakat. Terlebih kondisi ekonomi masyarakat saat ini sangat terpuruk.
Pemerintah bersama DPRD dapat merumuskan kebijakan-kebijkan yang dapat memacu akselerasi pembangunan sehingga roda perekonomian kembali berjalan normal.
Dan yang tak kalah pentingnya, semoga kebijakan pemerintah dan legislatif terkait pembangunan gedung baru DPRD ini tidak berimplikasi hukum. Semoga !
Redaksi