Penulis: Bregy Corado (Aktivis Palopo)
SMARTNEWS.CO.ID – Tagar #indonesiagelap dan #kembalikanTNIkebarak, semata hastag tanpa arti yang hari ini memenuhi beranda sosmed kita? atau justru konklusi logis dari keadaan yang faktual dari bangsa dan negara kita hari ini.
Awal kepemimpinan presiden prabowo,sejuta harapan dari rakyat indonesia menanti. Bagaimana tidak hanya di dalam rentan waktu kurang dari 6 bulan pasca di lantik kasus korupsi lintas sektor berhasil di ungkap dengan jumlah kerugian negara yang fantastis yang seolah membentuk suatu klasemen liga korupsi, yang patut diapresiasi.
Khususnya lembaga ADHYAKSA yang taringnya masih mewakili endapan bathin rakyat indonesia akan kemuakan praktik dzolim para kelas elite. Belum selesai di tengah euforia kebahagian masyarakat atas pengusutan berbagai praktik korup,pemerintah dan dpr ternyata melakukan selebrasi lain dengan merevisi undang undang TNI nomor 34 tahun 2004 yang masih begitu hangat bekas dentuman palu pengesahannya pada 20 maret 2025 kemarin yang upaya perubahannya telah berjalan sejak akhir tahun 2024 kemarin, namun belakangan mulai viral atau mencuat ke publik saat Aktivis KONTRAS melakukan sidak pada rapat pembahasan yang di gelar secara tertutup di hotel fayrmont jakarta pusat.
Berkaca pada suatu momok sejarah bangsa indonesia di mana traumatik masih menyelimuti psikologi masyarakat atas kepemimpinan orba dengan dominasi militernya yang arogan,menindas dan membekas. Tentu saja,muatan atau perubahan isi terhadap undang-undang ini perlu kehatian-hatian serta kewaspadaan agar tidak berakhir menjadi ketegangan antara kedaulatan sipil dan kekuasaan militeristik.sebab dampaknya hanya ada dua,sebagai angin segar atau justru angin kelam.
Kenapa kita perlu membicarakan revisi undang-undang TNI?
Selain faktor historis dan traumatik yang masih tertancap segar dalam iklim pikiran bangsa ini,beberapa hal lain yang menurut saya jauh lebih krusial seperti- Pertama, pembahasan hingga pengundangan mengenyampingkan transparansi dan partisipasi publik serta naskah akademis yang terkesan di rahasiakan yang menyalahi prinsip legislasi sehingga revisi undang undang tni tahun 2025 sarat kecacatan formil.
Kedua, Revisi Undang-Undang TNI terbaru secara materiil memberikan ruang gerak lebih leluasa kepada anggota militer untuk menempati posisi-posisi strategis yang berpotensi menggeser masyarakat sipil.Pada perubahannya di lakukan perluasan seperti dari pasal 47 undang-undang TNI yang Lama bahwa “prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan” menjadi TNI aktif dapat mengisi lembaga atau kementrian seperti:
1.Mahkamah agung
2.Kejaksaan republik Indonesia pada bidang jaksa agung muda tindak pidana militer
3.Badan narkotika nasional (BNN)
4.Badan penanggulangan bencana
5.Badan Sar and Rescue (SAR nasional)
6.Badan penanggulangan terorisme
7.Keamanan laut
8.lembaga ketahanan nasional
9.Lembaga siber/sandi negara
10.Basan intelijen negara
11.Badan nasional pengelola perbatasan (BNPP)
12.kementerian pertahanan dewan pertahanan nasional
13.Kementerian koordinator bidang politik dan Ham
14.Kesekretariatan negara yang menangani sekretariatan presiden dan kesekretariatan militer pesiden
Adapun poin lain pada perubahannya yaitu penambahan usia pensiun pada TNI.
Ketiga, kedaulautan hukum dan kedaulatan rakyat adalah syarat mutlak demokrasi yang otentik dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.Namun upaya revisi undang-undang TNI dengan mekanisme legislasi yang amat di gampangkan dan buru buru serta memberikan perluasan jabatan yang bisa di isi oleh mereka merupakan suatu praktik impunitas terhadap upaya pengusutan pelanggaran hak asasi manusia yang pernah terjadi di negeri ini.
Revisi undang-undang TNI tidak hanya mencederai aspek historis kembalinya DWI fungsi ABRI dan konstitusional bangsa ini namun juga sebagai langkah untuk mereduksi ruang sipil.Kedaulatan sipil suatu hal absolut yang similar dengan sistem demokrasi dan upaya meloloskan militer pada ruang sipil tidak hanya merusak nilai profesionalisme pada angkatan bersenjata kebanggaan kita semua namun juga merupakan suatu gejala soft kudeta terhadap demokrasi kita.
Tentu saja kita tidak ingin sejarah kelam bangsa ini kembali di mana hak asasi manusia tidak lebih mahal dari moncong senjata dan dialog ataupun kritik yang merupakan teman baik demokrasi harus kembali membisu di hadapan artileri dan sepatu baja. (*)