Palopo, Smartnews – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Palopo mendesak Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sulsel, Irjen Pol Merdisyam dan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sulsel, Raden Febrytrianto memeriksa dua petinggi penegak hokum di Kota Palopo.
Keduanya adalah Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Palopo, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Alfian Nurmas dan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kota Palopo, Agus Riyanto.
LBH menilai, kedua institusi yang saat ini dipimpin Alfian Nurmas dan Agus Riyanto tidak professional dalam menangani kasus pemalsuan dokumen yang menjerat Allung Padang.
“Jika mengacu pada kronologi kejadian, apa yang menjerat saudara Allung Padang saat ini bukanlah merupakan satu kasus karena perkaranya tidak jelas sebagaimana yang disangkakan kepada tersangka,” kata Ketua LBH Kota PAlopo, Umar Laila, Rabu 20 Oktober 2021.
Saat ini, Allung sementara menjalani persidangan di PN Palopo dan telah dituntut 2,6 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum (JPU).
Oleh penyidik Polres Palopo dan JPU Kejaksaan Negeri Palopo, dirinya disangkakan telah melakukan tindak pidana dengan memalsukan surat kematian. Surat kematian merupakan salah satu dokumen yang membuktikan bahwa seseorang telah meninggal diunia.
Allung dijerat Pasal 266 Ayat (1) KUHP tentang pemalsuan dokumen Junto Pasal 55 Ayat (1) KHUP dengan ancaman hukuman enam tahun pidana penjara.
Kasus yang menjerat Allung ini bermula dari laporan Kepala Bidang Aset, Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Palopo, Supiati.
Supiati yang mengaku telah mendapat kuasa dari Pemerintah Kota (Pemkot) Palopo melaporkan Allung atas dugaan pemalsuan surat kematian Jahra, ibu angkat Allung.
Atas laporan Supiati ini, penyidik Polres Palopo kemudian menetapkan dirinya sebagai tersangka pada 31 Desember 2020 dan langsung ditahan di sel tahanan Mapolres Palopo. Allung baru bisa menghirup udara segar pada 25 Pebruari 2021 dengan status tahanan kota.
Allung mengaku sama sekali tidak pernah mengurus atau menyuruh orang mengurus surat kematian ibunya. Surat itu keterangan kematian ibunya juga sama sekali tidak pernah digunakan.
Allung mengakui, tahun 2016, surat kematian ibunya telah diterbitkan pihak Kelurahan Lagaligo. Namun bukan dirinya yang mengurus surat kematian tersebut melainkan diurus oleh M Ridwan, menantu dari sepupu Jahrah yaitu Aminah.
Pasca terbitnya surat kematian yang diurus Ridwan, kemudian terbit lagi surat kematian kedua atas nama Jahrah. Lalu terbit lagi surat kematian ketiga dan keempat.
Surat kematian yang ketiga inilah yang dilaporkan Supiati ke Polres Palopo karena menilai Allung telah memalsukan surat kematian dengan menyuruh Salsamilah mengurus surat kematian yang kemudian digunakan untuk gugatan perdata ke MA.
“Yang aneh dalam penangnan kasus ini karena hingga polisi melimpahkan kasus ke kejaksaan bahkan sampai ke persidangan, Salmila ini tidak pernah dimintai keterangan baik oleh penyidik Polres Palopo maupun jaksa yang menangani kasus ini. Inikan sangat aneh,” kata Umar.
“Saya berharap, bahkan mendesak kepada Kapolda Sulsel dan Kajati Sulsel agar segera memeriksa Kapolres dan Kajari Palopo. Ini sangat perlu untuk dilakukan agar tidak menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Negara kita,” katanya.
Sekadar diketahui, Allung merupakan ahli waris dari orangtua angkatnya Jahrah, pemilik lahan yang memenangkan kasus perdata terhadap Pemerintah Kota (Pemkot) Palopo di Jl Durian, Kota Palopo.
Sebelumnya, Pemkot Palopo membangun pertokoan di atas lahan yang sebagian adalah milik Jahrah. Dari ratusan ruko yang dibangun Pemerintah Kota Palopo, sekitar 60 ruko berdiri di atas lahan milik Jahra.
Dalam proses gugatan, Jahrah meninggal dunia dan Allung dipercaya sebagai ahli waris dan memenangkan gugatan perdata tersebut melalui putusan Mahkamah Agung.
Setelah dinyatakan menang kasasi oleh Mahmakah Agung, Allung masih penuh harap kepada Ketua Pengadilan Negeri Palopo untuk segera melakukan eksekusi atas lahan tersebut sesuai dengan perintah MA dalam putusannya.(*)