Edukasi

Mengenal Mpu Prapanca, Penulis Keberadaan Kerajaan Luwu

364
×

Mengenal Mpu Prapanca, Penulis Keberadaan Kerajaan Luwu

Sebarkan artikel ini

Smartnews – Berbicara tentang kapan berdirinya kerajaan Luwu belum ada sumber yang akurat yang bisa menjelaskan secara pasti tahun didirikannya Kerajaan Luwu tersebut.

Kerajaan Luwu baru terunkap secara resmi setelah ditulis oleh Prapanca pada saman Gajah Mada tahun 1364 M dalam bukunya Negarakertagama bersamaan dengan kerajaan yang ada di Sulawesi sebagai fase periode kerajaan di Nusantara.

Tetapi jika bersumber dari data ini maka kerajaan Luwu itu berawal dari Simpurusiang, padahal dalam sumber I Lagaligo menerangkan bahwa Pemerintahan Luwu pernah di bawah raja yang bernama Batara Guru dan Batara Lattu.

Kerajaan Luwu  juga diperkirakan se-zaman dengan kerajaan Sriwijaya dan kerajaan lain di pulau jawa.

Dari perkiraan itu sehingga ada yang menduga bahwa Kerajaan Luwu sudah ada pada Abad ke-10 dan jika menghitung mundur dari masa pemerintahan Simpurusiang (Raja Luwu III ) yang berkuasa pada tahun 1268.

Dengan adanya jarak kekosongan pemerintahan selama 300 tahun maka besar kemungkinan masa pemerintahan Batara Lattu berakhir pada tahun 948 M dimana dalam buku Sarita Pawiloy-Ringkasan Sejarah Luwu dikatakan bahwa Batara Lattu memerintah selama 20 tahun.

Dari sumber ini dapat disimpulkan bahwa Batara Guru memerintah pada Tahun Sembilan Ratusan lebih jika menghitung mundur lagi dimasa pemerintahan Batara Lattu.

Demikian sejarah awal mula dikenalnya Kerajaan Luwu sebagai salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang ditulis Ujddi Usman dalam karyanya: Awal Berdirinya Kerajaan Luwu yang diunggah di website ilmubudaya.unhas.ac.id.

Namun siapakah sebenarnya Mpu Prapanca ? Berikut kisah sang sastrawan dikutip dari nasional.okezone.com.

Mpu Prapanca mungkin namanya tak setenar Gajah Mada atau Hayam Wuruk di Kerajaan Majapahit. Namun Prapanca adalah salah satu sastrawan Jawa yang konon hidup di masa Majapahit.

Dari beliaulah lika-liku kehidupan Kerajaan Majapahit dan sejarah sebelumnya diketahui melalui karya-karyanya. Kakawin Negarakertagama menjadi salah satu yang termasyhur yang dijadikan referensi hingga kini mengetahui kebesaran peradaban masa lalu.

Sejatinya ia bukanlah merupakan sastrawan tulen, melainkan juga sebagai pendeta agama Buddha. Dikisahkan dalam buku “Menuju Puncak Kemegahan Sejarah Kerajaan Majapahit” karya Slamet Muljana, Prapanca adalah sosok pembesar agama Buddha di Kerajaan Majapahit pada pemerintahan Raja Hayam Wuruk yang bergelar Rajasanagara tahun 1365 Masehi.

Namun dibalik kegemilangan karyanya yang dijadikan referensi sejarah peradaban besar di masanya, Prapanca adalah sosok yang dikisahkan kesepian sepeninggal dari istana dan kota. Ia hidup canggung di sebuah dusun dan kerap merasa sedih. Konon teman-temannya dahulu melupakannya, tidak mengunjunginya.

Prapanca merasa rugi, bahwa ia tidak dapat mendengar kata-kata dari baginda Raja Majapahit. Dikisahkan ia menolak tinggal di kota dan justru meninggalkannya untuk hidup di dusun, lantaran adanya hinaan kaum bangsawan.

Konon hinaan yang dimaksud adalah fitnah dari kaum bangsawan yang menimpanya. Fitnah itu membuatnya harus keluar dari istana, padahal sebelumnya menjadi pembesar Agama Buddha di Kerajaan Majapahit.

Fitnah dari kaum bangsawan ini didengar oleh Raja Majapahit yang berakibat pemecatan sebagai Kepala Urusan Agama Buddha di Kraton Majapahit. Namun belum diketahui siapa yang memfitnah Prapanca. Ia pun memilih untuk tinggal di dusun dan merasa kesepian.

Hal ini diperparah dengan ketiadaan teman-temannya yang sama sekali tidak menjenguknya. Alhasil Prapanca memilih untuk bertapa menurut Ajaran Sang Buddha. Ia masuk ke dalam hutan untuk bertapa di lereng gunung.

Prapanca tinggal dan bertapa di Kamalasana, di lereng gunung. Kakawin Negarakertagama pun mulai disusunnya selama dari pertapaannya. Kala itu ia sama sekali tak mengharapkan persebaran Kakawin Negarakertagama di Istana Majapahit karena tempatnya jauh dari kota di lereng gunung.

Prapanca hanya bersyukur apabila kakawin ini bisa sampai di tangan Raja Hayam Wuruk. Melalui kakawin ini ia ingin menyampaikan rasa setia baktinya kepada raja.

Tak hanya itu, Prapanca bermaksud menjelaskan mengenai kronologi fitnah yang menimpanya. Tapi kendati telah difitnah dan diusir oleh raja, Prapanca yang konon menggunakan nama samaran saat berada di dusun tak menaruh dendam sama sekali terhadap baginda raja.(*)