HeadlineKALTIM

Produksi Menurun, Anggota DPRD Kutim Khawatir Petani Ogah Tanam Padi

1131
×

Produksi Menurun, Anggota DPRD Kutim Khawatir Petani Ogah Tanam Padi

Sebarkan artikel ini
Anggota DPRD Kutim, Faizal Rachman.

KUTIM – Produksi padi di Kutai Timur (Kutim) mengalami penurunan. Kondisi ini membuat anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kutai Timur (Kutim), Faizal Rachman makin mendorong agar perda perlindungan lahan pangan berkelanjutan segera dibahas. Dia mengatakan, aturan ini akan melindungi lahan pangan di Kutim.

Faizal Rachman membeberkan penyebab penurunan produksi padi. Dia mengatakan ada dua faktor mengapa padi di Kutim mengalami penurunan produksi.

Pertama itu karena petani mengalami gagal panen yang diakibatkan hama dan cuaca buruk. Kedua petani sudah tidak menanami sawahnya dengan padi.

“Penurunan produksi padi ini ada dua faktor, petani menanam, tapi karena cuaca tidak bagus atau diserang hama akhirnya gagal panen. Kemudian memang petani tidak menanam padi,” kata Faizal Rachman.

Bila alasan kedua yang menjadi penyebab menurunnya produksi padi, dia menilai pemangku kepentingan harus segera mengambil tindakan. Sebab, ada potensi lahan pertanian itu akan beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit.

Dia memaparkan, salah satu alasan petani ogah menanam padi adalah kerap terjadi gagal panen. Hal inilah yang membuat mereka jenuh dan tak mau lagi menanam padi.

“Yang kita khawatirkan itu, karena petani jenuh selalu gagal panen, ujung-ujungnya pada musim tanam berikutnya dia tidak tanam. Nah kalau sudah muncul tidak tanam itu, kita khawatir lahan pangannya beralih fungsi menjadi sawit,” jelasnya.

Untuk membuktikan dugaannya itu, Faizal Rachman meminta stakeholder terkait untuk melakukan kajian alasan produksi padi Kutim menurun. Menurutnya, wajar bila petani jenuh, sebab mereka telah keluar modal, namun selalu gagal panen.

“Makanya ini perlu dikaji, penurunan ini apakah gara-gara cuaca jelek, sehingga produksi menurun atau mereka kapok tanam padi karena produksi menurun. Karena sekali gagal panen, petani rugi jutaan,” ujarnya.

“Petani sudah keluar biaya untuk traktor lahan, biaya tanam, biaya penyemaian bibit, kalau di Kaubun aja, hand traktor itu sudah satu jutaan biayanya satu hektare. Hitung-hitung modal petani Rp 5 juta per satu hektare,” lanjutnya.

Pada saat seperti ini kata Faizal, godaan untuk dialihfungsikan sawah ke perkebunan kelapa sawit sulit untuk ditolak. Sebab, bila dibandingkan dengan sawah padi, perkebunan kelapa sawit lebih menjanjikan secara ekonomi.

“Potensi gagalnya kecil. Kalau mereka tergiur semua, maka mereka tidak mau lagi tanam padi. Ditambah, sudah banyak pabrik sawit, jadi tidak sulit menjual hasil sawit mereka. Secara Ekonomi oke, tapi secara menjaga lahan pangan berkelanjutan itu yang jadi masalah,” ujarnya.

“Makanya saya dorong terus bagaimana supaya kita bisa keluarkan Perda perlindungan lahan pangan berkelanjutan. Ini saya dorong terus supaya segera untuk dibahas hal itu,” tutupnya. (adv)