Opini

Urgensi Peran Pemuda Dalam Pengawasan Partisipatif Pemilu

198
×

Urgensi Peran Pemuda Dalam Pengawasan Partisipatif Pemilu

Sebarkan artikel ini
Muhammad Rafly Setiawan (Ketua PMII Kota Palopo 2020-2021)

SENSUS penduduk pada tahun 2020 menunjukkan potensi yang begitu besar dengan melimpahnya tenaga produktif. Berdasarkan sensus tersebut, generasi milenial (kelahiran 1981-1996) jumlahnya 25,87 persen atau 69,38 juta jiwa. Sementara generasi Z atau dikenal kaum zilenial (kelahiran 1997-2012) mencapai 27,94 persen atau 74,93 juta jiwa.

Kedua generasi tersebut sangatlah berperan besar dalam menentukan satu dekade arah negara Indonesia kedepannya. Dua generasi itu akan disokong oleh generasi X (kelahiran 1965-1980) yang jumlahnya 21,87 persen atau sekitar 58,65 juta jiwa.

Namun demikian, dua generasi ini memiliki ketidakpedulian dan kemuakan terkait dengan politik kekuasaan. Hal itu dapat dilihat pada survey yang dilakukan oleh Atma Jaya Institute for Public Policy (AJIPP) bahwa pandangan dua generasi ini terhadap demokrasi dinilai buruk, bahkan sebagian diantaranya berpendapat demokrasi sangat buruk. Alasannya adalah adanya politisasi agama berdasarkan 44 persen responden, adanya hoax berdasarkan 22 persen responden, korupsi berdasarkan 17 persen responden, radikalisme berdasarkan 11 persen responden, kekuatan penguasa 1 persen berdasarkan responden, dan lain-lain 3 persen berdasarkan responden.

Dengan demikian, menimbulkan kecendrungan yang apatis dan antipati terkait dengan politik kekuasaan (dalam istilah demokrasi, momentum pemilihan atau pemilu). Betapa dua generasi tersebut merupakan mobilitas politik yang begitu besar jumlahnya. Mereka juga beranggapan bahwa dalam pesta demokrasi hanya sekedar perhelatan rotasi penguasa namun perilaku buruk yang terdapat dalam tubuh kelembagaan masih kerap dilakukan.

Disini pentingnya menyadari bahwa demokrasi Indonesia masih terus terjadi pembaharuan. Oleh karenanya, kita perlu melek terhadap dunia politik tanpa terkecuali generasi milenial dan Z. Dengan hal tersebut, arah perubahan negara yang lebih maju dan unggul ditentukan pula partisipasi aktif dua generasi ini.

Sebetulnya, generasi milenial dan Z mempunyai ekspektasi terhadap kinerja pemerintahan yang terang dan jelas serta jauh dari perilaku koruptif. Mereka berpendapat bahwa kekuasaan yang dipilih berdasarkan proses demokrasi harus dapat merasakan pahit-manisnya kehidupan warga negara dan lebih realistis agar setiap kebijakan yang diambil mempunyai kemanfaatan dan tepat sasaran, minimal mengentaskan kemiskinan dan mengurangi tingkat pengangguran yang terus bertambah jumlahnya.

Bagi jalannya demokrasi, dua generasi ini akan menjadi penopang agar kehidupan bernegara lebih baik. Karena mereka sangat getol memperjuangkan keadilan dan kesetaraan dengan lantang. Sidney Hook mengatakan, demokrasi merupakan bentuk pemerintahan dimana keputusan penting pemerintahan yang didasarkan pada suatu kesepakatan mayoritas yang tercipta suara rakyat. Dengan kata lain, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Berdasarkan prinsip tersebut, generasi milenial dan Z merupakan penentu bagi demokrasi Indonesia, mengingat momentum pemilu dan pemilihan akan dilaksanakan pada tahun 2024. Oleh sebab itu, bagus tidaknya negara kedepannya bergantung pada partisipasi aktif (one man one voice) dua generasi ini. Diharapkan mereka tetap kritis sehingga demokrasi Indonesia lebih berkualitas dan berintegritas.

Dengan demikian, dua generasi tersebut merupakan pemuda yang dibutuhkan dalam pengawasan partisipatif, bukan hanya masuk dalam struktural penyelenggara, melainkan pula turut bergerak di akar rumput (grass root) dengan kesadaran kesukarelawanan bahwa satu suara yang disalurkan di TPS bermakna memberikan hak kepada salah satu kandidat untuk kelangsungan hidup kita dan seluruh masyarakat Indonesia.

Betapa kesadaran politik harus ditumbuhkan sedini mungkin bagi dua generasi ini agar mengambil peran, bukan hanya mendekati pemilu dan pemilihan, tetapi juga mengambil peran saat ini. Kata W.S. Rendra, “apabila agama menjadi lencana politik maka erosi agama pasti terjadi. Karena politik tidak punya kepala, tidak punya telinga, tidak punya hati. Politik hanya mengenal kalah dan menang, kawan dan lawan. Sungguh peradaban yang dangkal.”

Oleh sebab itu, mari bersama-sama bergerak dengan kesadaran yang tinggi akan demokrasi dan politik guna memastikan kualitas demokrasi dan para pemilih dan yang dipilih menjaga integritasnya masing-masing, dengan berkata tidak pada money politik. (*)

Penulis: Muhammad Rafly Setiawan (Ketua PMII Kota Palopo 2020-2021)