Opini

Kemiskinan Masih Dua Digit, Cakada Kabupaten Luwu Bisa Apa?

780
×

Kemiskinan Masih Dua Digit, Cakada Kabupaten Luwu Bisa Apa?

Sebarkan artikel ini

Smartnews.co.id – Hari-hari ini menjelang perhelatan calon kepala daerah di kabupaten luwu, hingar bingar suksesor dan kandidat “seterunya” lebih banyak bicara soal angka elektoral dibanding  gagasan yang ditawarkan dalam  bentuk program membangun kesejahteraan masyarakat, hampir-hampir percakapan ini hilang di permukaan.

Kesejahteraan hanya bisa dicapai dengan menempatkan pengetahuan di hulunya, dan di hilirnya tumbuh kreativitas. Olehnya, penting untuk mengurai berbagai soal pembangunan yang menjadi tugas rumah bagi yang terpilih untuk diselesaikan pada kepemimpinan lima tahun mendatang. Angka – angka perlu dijahit untuk melihat akar masalah pembangunan yang urgen untuk di eksekusi.

Masalah kemiskinan adalah isu yang mengemuka di kabupaten luwu, Selama kurun waktu 10 tahun (2014-2023) pengelolaan kebijakan pemerintah daerah kabupaten luwu dalam mengentaskan masalah kemiskinan, rata – rata setiap tahunnya hanya mampu menurunkan angka kemiskinan sebesar 0,13 %. Presentase penduduk miskin masih berada di angka dua digit di tahun 2023 sebesar 12,71%, terjadi peningkatan sebesar 1,17% di tahun sebelumnya .(sumber BPS luwu,diolah).

Kemiskinan di kabupaten luwu jika dicermati dari sudut pandang aktivitas ekonomi masyarakat masih didominasi oleh masyarakat yang bekerja di sektor primer (pertanian secara umum), sektor pertanian sendiri berkontribusi seperdua dari nilai ekonomi secara keseluruhan di kabupaten luwu sebesar 52,49%. Bahkan setiap tahunnya, neraca beras kabupaten luwu mengalami kondisi surplus hingga 126 ribu ton. Situasi ini bertolak belakang dengan hasil yang diterima oleh petani, usaha tani belum menghasilkan nilai tambah ekonomi bagi petani. Semakin diperburuk dengan kualitas SDM petani dimana sebagian besar tenaga kerjanya hanya tamat Sekolah Dasar atau bahkan tidak pernah sekolah.

Pemerintah kabupaten luwu punya pekerjaan rumah besar kedepan, hal ini tentu berkorelasi kuat dengan cara pandang kepala daerah yang terpilih. Momentum ini harus benar- benar dimanfaatkan menguji keseriusan, komitmen dan pikiran – pikiran calon kepala daerah bagaimana mereka merumuskan strategi pertumbuhan inklusif yang berpihak pada orang miskin, dimana keadilan harus tertanam dalam kebijakan ekonomi.

Tantangan pembangunan di kabupaten luwu memang semakin kompleks, kualitas dan kualifikasi Sumber Daya Manusia yang masih rendah, kondisi spasial dan gegorafis, akses pekerjaan yang belum layak,  hingga kondisi lingkungan politik yang masih terus butuh pembenahan. Asumsi kebijakan 10 tahun yang lalu dalam penanganan kemiskinan bisa jadi sudah tidak kontekstual dengan perkembangan saat ini dengan perubahan sosial yang sangat dinamis, sehingga dibutuhkan pemikiran transformatif dan menghindari kebijakan – kebijakan kedepannya berdasarkan persepsi, kepentingan personal dan ideologi politk tertentu.

Intervensi dengan respon kebijakan yang terarah, terencana, terukur, dan berdampak selama ini memang belum terlihat ideal karena pelaksanaan program pengentasan kemiskinan berhenti pada wilayah pertanggung jawaban administratif saja. Olehnya, resep kebijakan tidak bisa dipukul rata. Vivi Alatas (2023) Dibutuhkan dasar bukti yang kuat untuk mendukung seluruh siklus kebijakan, mulai dari identifikasi masalah, penentuan respon hingga evaluasi kebijakan sehingga dihasilkan keputusan tentang apa perbaikan selanjutnya. Dan kita perlu menjodohkan antara demand side dan supply side agar tidak bertepuk sebelah tangan.

Dibutuhkan orang benar (right people) yang responsive merancang bersama, membangun hubungan yang kuat dengan knowledge maker (produk pengetahuan yang berkulitas) untuk membangun system dengan tujuan yang sama. Pertumbuhan melalui kesetaraan.

Sejauh ini memang, agenda – agenda perubahan yang diwacanakan oleh para kandidat hanya dibuat melalui slogan – slogan dengan kata tertentu tapi minim narasi. Belum ada secara eksplisit mengkonfirmasi ke publik visi misi dan langkah mencapai kemajuan melalui program pembangunannya dari hulu ke hilir. Dalam konteks ini, kita tidak mau suara masyarakat miskin hanya dijadikan komoditas kampanye dan sumber suara bagi para calon, sebab suara orang miskin sama berartinya dengan mereka yang memiliki kemegahan hidup, tidak ada yang berbeda satu sama lainnya. (*)

Penulis: Afrianto, M.Si (Dosen Fakultas Bisnis Universitas Mega Buana Palopo)