Opini

Endemi

71
×

Endemi

Sebarkan artikel ini
Adiyanto Wartawan Media Indonesia

Penulis: Adiyanto, Wartawan Media Indonesia

DALAM sebulan terakhir, angka penularan covid-19 mulai melandai. Setidaknya, di lingkungan tempat saya tinggal, kini jarang lagi terdengar sirene ambulans yang meraung mengabarkan kematian.

Para pedagang tahu bulat dan kurir pengantar paket, kini juga sudah bebas berkeliaran, tidak lagi dicegat bapak-bapak satpam di gerbang kompleks perumahan. Sejauh ini memang tidak ada yang tahu pasti berapa persisnya jumlah pasien di negara ini yang masih terpapar. Angka yang diungkap Tim Satgas, hanyalah mereka yang tercatat. Itu pun datanya kerap amburadul.

Namun, beberapa hari lalu, juru bicara Satgas Penanganan covid-19 Wiku Adisasmito bilang, kita akan mampu mengubah kondisi pandemi menjadi endemi seiring terkendalinya kasus covid-19 secara nasional.

Dalam dunia kedokteran, pengertian endemi ialah penyakit yang muncul dan menjadi karakteristik di wilayah tertentu, contohnya malaria dan demam berdarah. Cakupannya tidak lagi global. Semoga saja prediksi itu benar.

Toh, kita mesti menyalakan harapan ketimbang terus-menerus mengutuki gelap. Lagi pula, berharap virus korona betul-betul minggat dari muka bumi ini rasanya mustahil. Paling tidak, kita bisa berdamai dan hidup berdampingan dengannya, seperti virus-virus lainnya, termasuk influenza. Pertanyaannya, apa yang telah dan mesti kita persiapkan? Pandemi yang terjadi dalam dua tahun terakhir tentu harus jadi pelajaran.

Pola hidup mesti berubah. Jangan lagi jorok dan segala rupa dimakan. Aktivitas mencuci tangan dan memakai masker, terutama di ruang publik, mungkin harus pula dibiasakan. Pun melestarikan dan merawat lingkungan, mesti diutamakan agar penyakit zoonosis (patogen yang ditularkan hewan ke manusia), tidak semakin ganas berkeliaran.

Cukuplah flu babi dan flu unggas, jangan sampai ada flu ikan, flu siput, flu monyet, dan sejenisnya. Penanganan masalah kesehatan juga tidak bisa lagi semata menggantungkan diri pada dunia kedokteran. Ia harus melibatkan disiplin ilmu lainnya, seperti sejarah, sosiologi, dan antropologi. Penyebaran suatu penyakit di suatu wilayah, misalnya, harus pula dipahami dari karakteristik, pola konsumsi, serta perilaku masyarakatnya.

Begitu pun soal efektivitas vaksin yang telah tercatat dalam berbagai dokumen sejarah saat terjadi wabah di masa lalu, harus pula dijadikan pegangan. Intinya, selain kepada sang Pencipta, kita harus pula percaya pada sains. Para filsuf Yunani di era awal, seperti Hippokrates dan para pengikutnya (460 SM-370 SM), bahkan percaya setiap penyakit ada sebabnya.

Mereka yakin ada penjelasan ilmiahnya ketimbang menuduh itu ulah para dewa. Bukankah dalam sebuah hadis juga disebutkan bahwa setiap penyakit selalu ada obatnya? Yang pasti, pandemi, epidemi, endemi, atau apa pun istilahnya, mesti kita antisipasi dari sekarang. Jangan ada lagi pejabat atau elite yang gegabah dan menganggap remeh suatu penyakit.

Kita tidak tahu apakah krisis semacam ini masih akan menghampiri lagi di masa depan. Namun, meminjam istilah jurnalis dan penulis novel dari India, Arundhati Roy, pandemi yang terjadi saat ini merupakan pintu gerbang. Ia menjadi celah bagi kita untuk membuka cakrawala baru kehidupan, yang tentunya harus lebih baik dari sekarang.

Sumber: Media Indonesia