Opini

Ketika Dalih Hutan Konsensi Jadi Alasan Hak Masyarakat Tak Dipenuhi

474
×

Ketika Dalih Hutan Konsensi Jadi Alasan Hak Masyarakat Tak Dipenuhi

Sebarkan artikel ini

Penulis: Egar Muhammad (Ketua Mahasiswa Palopo)

SMARTNEWS.CO.ID – APA JADINYA kalau Investor asing  melukai masyarakat? Salah satu cara menjawabnya adalah dengan melihat apa yang dialami masyarakat di kecamatan towuti, Kabupaten Luwu Timur, dengan dalih investasi dan kesejahteraan, ruang hidup masyarakat tersingkirkan.

Pasca naiknya rezim Soeharto (orde baru), investasi asing dan dalam negeri (ekspansi kapital) menjadi indikator utama dalam pembangunan. Akomodasi hukum dan kebijakan untuk itu turut ikut di belakangnya. UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, misalnya, seperti otomatis lahir di awal masa kepemimpinan Soeharto.

UU pertama era Orba itu diikuti oleh berbagai UU sektoral, salah satunya UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. UU ini menggunakan bentuk perjanjian berupa Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan antara negara dan swasta. Kontrak Karya  diberikan kepada perusahaan swasta untuk melakukan eksplorasi dan operasi produksi di beberapa daerah potensial.

Peraturan itulah yang memungkinkan PT VALE INDONESIA Tbk mengantongi izin usaha pertambangan , melegitimasi mereka untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi hingga operasi produksi tanpa memperhatikan hak tanah masyarakat.

Corak produksi Sebelum indonesia merdeka, dengan sistem agricultural, menggarap lahan untuk melanjutkan hidup dan menjaga kearifan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi, bahkan banyak juga yang hidup nomaden untuk menggarap daerah potensial.

Sekitar tahun 1900 Kegiatan seperti di lakukan oleh masyarakat luwu timur dalam hal ini Pong Salamba serta 40 pekerja yang menggarap lahan secara semi nomaden dengan luas lahan di sinyalir hingga mencapai 8363 hektare.

Dibawa arahan Pong Salamba mereka berkomitmen mengembangkan usaha perkebunan damar, yang menjadi komoditas utama sebagai sumber pendapatan. Selain itu mereka juga menanam tanaman jangka pendek seperti jagung dan padi untuk memenuhi kebutuhan pangan, sosial dan ekonomi.

Sampai saat ini tanaman DAMAR yang terbentang di sepanjang lahan masih berdiri kokoh serta di kuatkan dengan bukti-bukti lainnya seperti kuburan, pematang sawah, irigasi dan tempat pemukiman (tongkonan).

Surat keterangan kepemilikan mengenai terciptanya usaha perkebunan damar di bawa komando pongsalamba  terbit pada tahun 1998 dengan adanya tanda tangan Kepala Desa yang di saksikan anak bungsu dari Pong Salamba serta cucu dan keponakannya, selain itu juga di kuatkan oleh kepala Desa Loeha yang mengakui bahwa pemukiman, perkebunan damar dan lahan pertanian di garap oleh Pong Salamba, pernyataan itu dalam bentuk surat kesaksian,  bahkan kepala desa to kalimbo juga turut menerbitkan surat kesaksian pada tahun 2012.

Namun dasar-dasar surat dokumen dan jejak historis dari Pong Salamba terkesan tidak dipertimbangkan oleh PT VALE, sehingga tetap melakukan aktivitas pertambangan dengan dalih area tersebut masuk dalam wilayah konsesi, berdasarkan izin resmi yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, Izin tersebut antara lain izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH), padahal khusus untuk daerah izin Konsesi baru terbit tahun 2024, jauh sebelum rumpun pong salamba  menggarap lahan tersebut.

Sebagai Ketua Mahasiswa Palopo, penulis mendesak PT VALE untuk  memperhatikan hak-hak masyarakat sebelum eksploitasi hutan, namun jika bunga harapan tersebut tak kuncung mekar, maka tak ada alasan dari masyarakat untuk terus melawan. Karena apapun dalihnya kedaulatan tertinggi tentunya ada di tangan rakyat dan di atas segala-galanya adalah kuasa tuhan yang maha esa. (*)