Smartnews – Keturunan La Patau Matanna Tikka akan menggelar pertemuan akbar di Kabupaten Bone pada November 2021. Ratusan bahkan ribuan keturunan Raja Bone XVI diperkirakan akan menghadiri kegiatan tersebut.
La Patau Matanna Tikka adalah Raja Bone XVI yang menjabat pada tahun 1696 hingga 1714, menggantikan Arung Palakka. Gelaran nama panjang La Patau adalah La Patau Matanna Tikka, Sultan Alimuddin Idris, Walinonoe To Tenribali Malae Sanrang, Matinroe ri Nagauleng.
Rencana pertemuan tersebut diunggah akun facebook Andi Kossasih, Minggu 30 Oktober 2021, malam.
Melalui akun facebooknya, Andi Kossahi mengunggah pengumuman terkait pertemuan akbar yang akan digelar pada 20 hingga 21 November 2021, di Kabupaten Bone.
Bagi yang ingin turut dalam pertemuan ini dapat menghubungi panitia melalui nomor telepon 085255430005, 081342996997, 081348574777, 08114201171, 085299312567, atau 082189617016.
Atau dapat langsung dating ke secretariat panitia di Jalan Petta Ponggawae Nomor 11, Kantor KONI Kabupaten Bone.
Sekadar diketahui, La Patau adalah anak dari pasangan La PakokoE To Angkone Arung Timurung, Paddanreng Tuwa VI (16), Putra Sultan Bone XIII La Maddaremmeng dan We Tenri Wale Mappolo BombangE Maddanreng Palakka. La Patau lahir 3 November 1672 dan wafat 16 September 1714.
Selama menjabat, La Patau dikenal sebagai raja yang sangat menghargai hukum adat istiadat. Ia sangat konservatif dan juga sangat tegas kepada para pemadat atau pecandu dan perbuatan-perbuatan yang mengganggu keamanan masyarakat sehingga dalam masa pemerintahannya semua adat istiadat berjalan dengan baik.
Dia tidak memandang bulu, siapa saja yang melanggar pasti dihukum termasuk keluarganya sendiri. Pada masa kekuasaannya, tercatat dua kali nyaris terjadi peperangan antara Bone dengan Gowa termasuk perang melawan mertuanya sendiri yaitu KaraengE ri Gowa, I Mappadulung Daeng Mattimung Sultan Abdul Jalil, ayah dari isterinya, We Mariama Karaeng Patukangang.
Pertama, tahun 1700 Masehi ketika Sulle DatuE ri Soppeng, Daeng Mabbani dibunuh oleh La Pasompereng Arung Teko. KaraengE ri Gowa menyangka kalau La Pasompereng didukung Arumpone La Patau untuk membunuh Daeng Mabbani yang kejadiannya di SalassaE ri Gowa. Namun Belanda segera turun tangan untuk menengahi kedua pihak sehingga peperangan tidak berlanjut.
Perang kedua yaitu pada tahun 1709 Masehi ketika La Padassajati melakukan kesalahan besar di Bone. Karena takut dihukum oleh ayahnya sendiri, La Padassajati melarikan diri ke Gowa minta perlindungan kepada kakeknya.
Namun permintaan Arumpone bersama Adat Tujuh Bone agar La Padassajati dikembalikan ke Bone untuk dihukum tidak dipenuhi oleh KaraengE ri Gowa. Atas penolakan ini, Bone menyatakan perang dengan Gowa.
Sementara KaraengE ri Gowa juga menyatakan dengan tegas bahwa lebih baik berperang dari pada menyerahkan cucunya kepada Bone untuk dihukum. Sebelum perang dimulai, Raja Gowa meninggal dunia. Maka La Pareppai To Sappewali saudara La Padassajati sendiri yang tidak lain adalah juga anak dari La Patau menggantikan kakeknya sebagai Somba ri Gowa.
La Pareppai To Sappewali juga bersikap sama dengan tetap menolak untuk menyerahkan saudaranya ke Bone. Konflik ini juga ditengahi oleh Belanda, sehingga perang perang antara anak dengan ayah menjadi terhindarkan.
La Patau adalah raja pertama mengangkat Matowa sebagai pemimpin orang-orang Wajo yang tinggal di Makassar dengan tujuan agar orang-orang Wajo yang tinggal di Makassar dapat diawasi keadaan sehari-harinya karena mengingat pada waktu itu La Patau mempunyai tugas sebagai Raja Bone, dan sekaligus juga sebagai Ranreng Tuwa di Wajo. La Patelleng Amanna Gappa adalah orang yang pertama diangkat sebagai Matowa Wajo.
La Patau juga menjabat sebagai Ranreng Tuwa di Wajo yang diwarisi dari ayahnya, dan juga sebagai Arung Ugi’.
Pada mulanya La Patau diminta menjadi Datu Soppeng namun menolak karena menurutnya masih ada yang lebih pantas dan dituakan yaitu We Ada, namun setelah We Ada wafat maka datanglah kembali orang Soppeng meminta memegang Soppeng dan Bone sekaligus sehingga barulah La Patau bersedia.
Selain mewarisi Arung Timurung dari ayahnya, La Patau juga mewarisi Arung Palakka dari ibunya yang maddanreng di Palakka.(*)