MENDEFINISIKAN adil atau tidak adil adalah masalah yang bisa sangat merepotkan, karena orang tentu mempertanyakan yang adil itu bagaimana dan apa ukurannya? karena boleh jadi, yang dimaksud adil oleh seseoarang dianggap oleh lainnya tidak adil. Dalam berbagai perspektif pembangunan, keadilan dan pemerataan untuk pembangunan di lihat dari pendekatan distribusi. Dalam masalah ini, nilai aspirasi menjadi objek pembangunan yang menentukan. Pada akhirnya, yang menentukan sasaran tadi adalah masyarakat sendiri.
Mengukur keberhasilan pembangunan tidak bisa disederhanakan dengan hanya menggunakan dua – tiga indikator saja, membandingkan hasil pembangunan dengan hanya membandingkan besarnya GDP antar negara dan quality of life sebagai ukuran perbandingan. Lebih dari itu, juga bagaimana system politik yang bekerja dan paraktek birokasi dalam pemajuan pembangunan ekonomi.
Namun, yang terpenting sesungguhnya ialah ada atau tidak adanya logika yang kuat antara masalah – masalah yang dihubungkan satu dengan yang lainnya. Misalnya, ada atau tidaknya hubungan antara pengejaran pertumbuhan ekonomi yang cepat dengan penurunan ketimpangan sosial yang terjadi ?. Ada atau tidaknya hubungan dinamika politik dengan orientasi pembangunan ?
North pemenang hadiah nobel dari Washington university (1993) menyatakan adanya proses hubungan antara kerangka kelembagaan dalam mengembangkan suatu perekonomian. Lebih lanjut ia nyatakan system politiklah yang terutama membentuk pranata sosial dan ekonomi.
Maka, semakin jelas duduk persoalannya, bahwa masalah keadilan dan pemerataan yang mempunyai dampak besar terhadap pembangunan mempunyai sangkutan dan hubungan – hubungan yang meluas keseluruh aspek sosial akibat dari system politik. Begitupula dengan temuan daron acemoglu dan james A robinson di dalam bukunya “Mengapa Negara Gagal”. Mereka membandingkan antara negara yang memiliki kondisis geografis dan budaya yang sama, tetapi tingkat kesejahteraan masyarakatnya jauh berbeda. Menurutnya, secara spesifik bahwa pilihan atas system politik dan ekonomi yang inklusif merupakan faktor utama yang mempengaruhi peluang suatu negara untuk merebut kemakmuran dan kelimpahan ekonomi suatu negara.
Pada kenyataannya, dalam praktik kebijakan pembangunan ekonomi, politik kekuasaan lebih dominative dan mengontrol segalanya pada banyak aspek pembangunan sehingga tidak terjadi suasana yang bebas dan transparan, pengawasan sosial yang lemah dan tumpulnya kreatifitas masyarakat. Padahal, pranata sosial dan politik yang mendukung kemajuan adalah suatu pranata dimana berlaku kebebasan, keterbukaan/partisipatif, menjamin hak – hak warganya dan birokrasi yang dikontrol dengan kebijaksanaan sesuai dengan tujuan pembangunan kita.
Praktik kebijakan pembangunan sesungguhnya akan dimengerti jika kita memperhatikan kemajukan dari proses birokrasi, Karena birokrasi bukanlah instrument yang netral, yang hanya punya satu warna. Olehnya, bila terjadi krisis tersembunyi dalam pembangunan, maka krisis itu lebih dulu menimpa birokrasi. Sayangnya, seruan – seruan mengenai perlunya kordinasi antar lembaga pada setiap perumusan kebijakan pembangunan seolah hanya sebuah pemikiran yang absurd dikelolah oleh sekelompok orang untuk dicitrakan tanpa pelibatan penuh pihak – pihak yang kompeten dalam pelaksanaannya.
Kita juga mengamati pembentukan – pembentukan badan/organisasi yang semakin besar jumlahnya telah menimbulkan permasalahan – permasalahannya sendiri. Mekanisme – mekanisme yang dibentuk secara sepihak menyebabkan pejabat pemerintah pada tingkat bawah menjadi rentan terhadap tekanan – tekanan dari kaum elit daerah.
Mekanisme kontrol ini dan penerapan doktrin – doktrin tertentu tidak saja memembus urusan politik, juga menciptakan akumulasi modal dalam berbagai bentuk espansinya. Oleh karena itu, kita hampir – hampir tidak dapat berbicara tentang kebijaksanaan pembangunan dalam bentuk kata jamak/partisipatif.
Penulis: Direktur Nusantara Riset, Afrianto, M.Si