Penulis : Dr. Ir. H. RAHMAT MASRI BANDASO,M.Si
BERAGAM peristiwa yang dialami manusia, bukanlah kematian yang membuat ceritanya muram, tapi tentang kesia-siaan. Disana dinamika sosial terus bergerak, ada kisah lalu yang terus dikabarkan karena memberi makna hidup. Sejarah akan terus berbicara dan memberi nasehat bagi generasi berikutnya. 754 bukan sekedar angka yang dirapalkan untuk menunjukkan masa yang panjang sebagai suatu keberadaan identitas tana luwu, lalu ia sekedar diucapkan dalam deretan kata “selamat hari jadi di bulan januari”. Bukankah Begitu banyak kepingan – kepingan sejarah yang perlu direfleksi, disana ada banyak kebijaksanaan, heroisme, kerelaan dan kemuliaan yang bisa dijadikan pandangan hidup.
Saat ini, dengan beragam kultur masyarakat modern yang mendinamisasi masyarakat kita mengarahkan generasi pada penyakit amnesia terhadap sejarah. Sejenis penyakit budaya yang turut melemahkan sendi – sendi kehidupan kita, baik individu, kelompok masyarakat maupun bangsa secara keseluruhan. Kita bisa saja kehilangan kesadaran sejarah, sampai pada satu masa, kendali sejarah bukan lagi di tangan kita. Gerak kita dan komunitas masyarakat akan bergerak ke dalam polarisasi budaya yang perlahan menghilangkan identitas kebudayaan kita.
Kenapa perlu refleksi?, refleksi mencari perspektif, diharapkan ada kesadaran yang tumbuh, visi kehidupan yang disegarkan. Kita semua patut merenungi banyak hal yang menyentuh masalah mendasar masyarakat kita, utamanya generasi milenial dan generasi Z saat ini. Kita semua pahami bahwa mayoritas jumlah penduduk kita berasal dari generasi ini, generasi ini tumbuh berkawan dengan teknologi, kesehariannya lebih kental dan menubuh dengan digitalisasi, mereka mengakses informasi dari beragam sumber. Jika kebudayaan kita tidak mampu menjadi filter bagi mereka, keakraban yang dirindukan akan hilang, mereka bisa saja mengabaikan hal – ikhwal yang berbau lokal. Sesungguhnya, perkembangan teknologi juga menghasilkan paradox, disatu sisi manusia terus menciptakan teknologi yang beragam, di sisi lain ia rindu pada situasi pada masa lampau “keadaan tanpa teknologi”.
Secara konsep, kebudayaan tidak hanya meliputi tentang sesuatu yang sifatnya indah seperti tari-tarian, bangunan bersejarah, sastra maupun seni suara. Lebih dari itu, kebudayaan dapat dinyatakan sebagai “keseluruhan sistim gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar” (Koentjaraningrat, 2009). Sehingga, dalam pengertian sederhana, segala sesuatu yang berkaitan dengan hasil kreatifitas manusia dapat dinyatakan sebagai kebudayaan. Untuk saat ini, produk budaya yang paling mudah diidentifikasi adalah bahasa dan kesenian. Sayangnya, generasi kita lebih cenderung mengenal budaya luar dan asing dibandingkan dengan budaya sendiri. Setiap hari kebudayaan luar menjejali aktivitas kita melalui saluran digitalisasi, sementara kebudayaan kita hanya ditampilkan pada event-event tertentu untuk mengenalkan pada generasi.
Kondisi ini sedikit banyak telah menentukan arah pada aspek kehidupan manusia, Ini pula yang disebut oleh Ihde dengan dengan sifat ‘multistabilitas’ (Ihde, 1990: 44). Multistabilitas ini bisa berarti dua hal. Pertama, kemampuan teknologi untuk menyesuaikan dengan kebudayaan yang menerimanya atau inklusivitas teknologi. Teknologi selalu terbuka untuk ditafsirkan dalam ragam budaya di dunia. Memang, teknologi digital/modern yang sebagian besar kita manfaatkan hari-hari ini berasal dari peradaban ‘barat’, namun di tengah pandemi global saat ini kita sama-sama menyaksikan bagaimana teknologi komunikasi juga memiliki peran sentral.
Perkembangan teknologi dan pembangunan kesadaran dalam ruang kebudayaan yang inklusif diharapkan pada semua pihak, baik itu negara maupun masyarakat mengambil peran penting menghidupkan kebudayaan kita yang tidak anti terhadap perkembangan zaman. Nilai – nilai kearifan lokal mesti dihidupkan dalam tradisi modern saat ini. Kebudayaan kita musti menjadi cara pandang yang dapat menyaring nilai yang kental dengan karakter individualism/anti sosial dan nirkolektivisme itu.
Pemerintah pusat dalam rencana induk pemajuan kebudayaan yang bereorentasi pada visi besar mencerdaskan, mendamaikan dan menyejahterakan, membutuhkan perangkat kelembagaan yang tangkas, materi pembelajaran dan penguatan karakter yang terintegrasi sebagai upaya tata kelola pembangunan kebudayaan. Tentu saja semua ini bisa dicapai dengan membangun komitmen dan unit kerja, memberikan ruang partisipasi terbuka bagi semua pihak dengan membentuk jaringan kerja yang melibatkan tenaga professional, akademisi, praktisi bahkan kemitraan dengan pihak swasta. Pembangunan kebudayaan yang terintegrasi akan menjadi nafas dari kelangsungan hidup mayarakat kita dan bangsa pada umumnya. (*)